lazada.com

DZIKIR, ATAQOH (SUGHRO & QUBRO ), DOA, TAHLIL, & TAWASUL

Dzikir
Dzikir artinya mengingat atau menyebut. Dzikir kepada Allah berarti: mengingat atau menyebut nama Allah Swt.
Dzikir kepada Allah secara berjamaah sudah menjadi kebiasaan umat Islam khususnya di Indonesia, kalimat-kalimat dzikir banyak sekali, diantaranya membaca lafadz Allah. Dzikir hukumnya sunnah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (41) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (42)

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah Swt., zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (al-Ahzab:41-42)

اِعْلَمْ أَنَّهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ الذِّكْرُ يُسْتَحَبُّ الْجُلُوْسُ فِيْ حَلْقِ أَهْلِهِ ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ اَلْأَدِلَّةُ عَلَى ذٰلِكَ ، (الاذكار النووى ص 8)

Ketahuilah sebagaimana disunnahkan dzikir, begitu juga disunnahkan duduk dalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, karena banyak dalil-dalil yang menyatakan hal itu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 08)

Bagi warga Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah bahwa membaca dzikir dan do’a adalah suatu ibadah yang sangat tinggi pahalanya di hadapan Allah Swt. Oleh sebab itu, ciri khas ummat Islam Indonesia yang menganut faham Ahluu Sunnah Wal Jama’ah sangat rajin berdzikir dan berdo’a pada setiap setelah shalat atau pada waktu-waktu tertentu bahkan disetiap hembusan nafasnya selalu berdzikir kepada Allah dalam hatinya, selalu mengingat Allah dalam setiap aktifitasnya yaitu: ketika duduk, berdiri, berjalan, makan, minum, bekerja dan apapun yang dikerjakan oleh anggota dhahirnya, tetapi hatinya tidak pernah luput dari mengingat Allah.

Dzikir Fida’ ( Ataqoh )
Dzikri Fida’ merupakan dzikir penebusan, yaitu menebus kemerdekaan diri sendiri atau orang lain dari siksaan Allah Swt. dengan membaca: Laa Ilaha Illallah. sebanyak 71.000 (tujuh puluh satu ribu).
Dengan demikian, dzikir fida’ adalah upaya untuk memohonkan ampunan kepada Allah Swt. atas dosa-dosa orang yang sudah meninggal. Diterangkan dalam hadits dari Siti Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قاَلَ لاَإِلهَ اِلاَّاللهُ اَحَدَ وَسَبْعِيْنَ اَلْفًا اِشْتَرَى بِهِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَا فَعَلَهُ لِغَيْرِهِ. (خزينة الاسرا 1884)

Diriwayatkan dari Aisyah ra. Ia berkata; Rasulullah bersabda: barang siapa yang membaca laa ilaaha illah sebanyak tujuh puluh satu ribu maka berarti ia menebus (siksaan) dengan bacaan tersebut dari Allah ‘Azza Wajalla dan begitu juga hal ini bisa dilakukan untuk orang lain. (Khazinah al-Asrar, hal.188)
Adapun dzikir fida’ ini yang selanjutnya disebut dzikir ‘ataqah, oleh para ulama’ dibagi dua macam yakni ‘ataqah sughra yaitu membaca laa ilaaha illah sebanyak 70 ribu kali atau 71 ribu kali dan ‘ataqah kubra yaitu membaca surat al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Syarh al-Futuhat al-Madaniyah.

وَرُوِىَ اَنَّ الشَّيْخَ اَباَ الرَّبِيْعِ اَلْمَالَقِيّ كاَنَ عَلىَ مَائِدَةِ طَعَامٍ وَكاَنَ قَدْ ذَكَرَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ سَبْعِيْنَ اَلْفَ مَرَّةٍ وَكاَنَ مَعَهُمْ عَلىَ الْمَائِدَةِ شَابٌ مِنْ اَهْلِ الْكَشْفِ فَحِيْنَ مَدَّ يَدَهُ اِلىَ الطَّعاَمِ بَكَى وَامْتَنَعَ مِنَ الطَّعَامِ فَقَالَ لَهُ الْحَاضِرُوْنَ لِمَ تَبْكِى؟ فَقاَلَ اَرَى جَهَنَّمَ وَاَرَى اُمِّىْ فِيْهَا. قَالَ الشَّيْخُ اَبُوْ الرَّبِيْعِ: فَقُلْتُ فِىْ نَفْسِىْ اَللَّهُمَّ اِنَّكَ تَعْلَمُ اَنِّىْ قَدْ هَلَّلْتُ سَبْعِيْنَ اَلْفاً وَقَدْ جَعَلْتُهَا عِتْقَ اُمِّ هَذَا الشَّابِّ مِنَ النَّارِ فَقَالَ الشَّابُّ اَلْحَمْدُ لِلّهِ أَرَى أُمِّىْ قَدْ خَرَجَتْ مِنَ النَّارِ وَمَا اَدْرِىْ ماَ سَبَبُ خُرُوْجِهَا وَجَعَلَ هُوَ يَبْتَهِجُ وَاَكَلَ مَعَ الْجَمَاعَةِ. وَهَذَا التَّهْلِيْلُ بِهذَا الْعَدَدِ يُسَمَّى عَتاَقَةَ الصُّغْرَى كَمَا اَنَّ سُوْرَةَ الصَّمَّدِيَّةِ إِذاَ قُرِئَتْ وَبَلَغَتْ مِائَةَ اَلْفِ مَرَّةٍ تُسَمَّى عَاتَقَةَ كُبْرَى وَلَوْ فِيْ سِنِيْنَ عَدِيْدَةٍ فَاِنَّ الْمُوَالاَةَ لاَتُشْتَرَطُ. اهـ (شرح الفتوحات المدنية بهامش نصائح العباد ص 24)

Diriwayatkan bahwa syekh Abu al-Robi’ al-Malaqi, berada di jamuan makanan dan beliau telah berdzikir dengan mengucapkan Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali. Di jamuan tersebut terdapat seorang pemuda ahli kasyaf. Ketika pemuda itu akan mengambil makanan tiba-tiba ia mengurungkan mengambil makanan itu, lalu ia ditanya oleh para hadirin mengapa kamu menangis? ia menjawab, saya melihat neraka jahanam dan melihat ibu saya di dalamnya. Kata syekh Abu al-Rafi’, saya berkata di dalam hati, “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa saya telah berdzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dan saya mempergunakannya untuk membebaskan ibu pemuda ini dari neraka”. Setelah itu pemuda tersebut berkata, “Alhamdulillah, sekarang saya melihat ibu saya telah keluar dari neraka, namun saya tidak tahu apa sebabnya”. Pemuda itu merasa senang dan kemudian makan bersama dengan para hadirin. Dzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dinamakan ataqoh sughroh (pembebasan kecil dari neraka), sedangkan surat al-Ikhlas jika dibaca 100 ribu kali dinamakan ataqoh kubro (pembebasan besar dari neraka) walaupun waktu membacanya beberapa tahun, karena tidak disyaratkan berturut-turut. (Syarah al-Futukhat al-Madaniyah Bihamisyi Nasha’ih al-Ibad, hal.22)

Tahlil
Tahlil berasal dari kata هَلَّلَ - يُهَلِّلُتَهْلِيْلاً yang berarti membaca kalimat لااله الا الله . Sedangkan tahlil menurut pengertian yang berkembang di masyarakat adalah membaca kalimat thayyibah (shalawat, tahlil, istighfar, fatihah, surat ikhlas, mu’awwidzatain, dan lain-lain) yang pahalanya ditujukan kepada arwah keluarga yang bersangkutan.

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ (10)

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, Sesungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". QS. Al-Hasyr ayat 10

عَنِ النَّـِبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( كَلِمَتاَنِ خَفِيْفَتاَنِ عَلىَ اللِّسَانِ ثَقِيْلَتاَنِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتاَنِ إِلىَ الرَّحْمٰنِ سُبْحاَنَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ) . رواه البخارى (احاديث مخترة من الصحيحين)

Rasul bersabda: dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat (timbangan kebijakannya) di Mizan (timbangan amal akhirat), dan dicintai oleh Dzat yang mempunyai belas kasih adalah kalimat Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil adzim. HR. Bukhari dalam kitab Akhadits Muhtar Min Al-Shahihain

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ماَ الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ إِلاَّ كاَلْغَرِيْقِ الْمَتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبِيْهِ أَوْ أَخِيْهِ أَوْ صَدِيْقِ لَهُ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كاَنَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ وَمَا فِيْهَا وَإِنَّ هَدَاياَ اْلأَحْياَءِ لِلْأَمْوَاتِ اَلدُّعاَءُ وَاْلاِسْتِغْفاَرُ

Rasulullah Saw. Bersabda: tiada seorang pun dari mayit dalam kuburnya kecuali dalam keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong, dia menanti doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemuinya, apabila ia telah menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi sesuatu yang lebih dicintai dari pada dunia dan seisinya, dan apabila orang yang masih hidup ingin memberikan hadiah kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah dengan doa dan istighfar’. (Ihya’ Ulum al-Din, Juz IV, hal.476)
Dengan demikian tahlil yang berisi doa, istighfar, bacaan al-Qur’an, tasbih, bacaan Laa Ilaha Ilallah dan kalimat thoyyibah lainnya merupakan hadiah dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah mati.
Kesimpulannya, selamatan dan tahlil atau melakukan do’a bersama memohon keselamatan, baik bagi yang masih hidup maupun yang sudah meninggal adalah memiliki dasar dan tidak bertentangan dengan syariat agama.

Do’a
Berdo’a atau memohon kepada Allah Swt. merupakan inti ibadah bagi umat Islam dengan tidak memandang derajat dan pangkat. Semuanya diperintahkan supaya memperbanyak berdo’a kepada Allah, memohon ampunan, memohon keselamatan dunia akhirat, kesehatan jasmani dan rohani, dll.
Orang yang berdo’a seolah-olah munajat (berbicara), berbisik dengan Allah SWT., dengan memakai bahasa yang sopan, yang merendah. Orang yang tidak mau berdo’a adalah orang-orang yang sombong, yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih pandai, lebih mampu, bahkan lebih kaya dari Allah Swt. Kedudukan do’a adalah sangat tinggi dalam ibadah. Karena itu berdo’a dengan khusyu’ dan tawadhu’ sangat dianjurkan oleh agama.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ (60)

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". (QS. al-Mu’min: 60)
[1326] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (55)

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549]. (QS. al-A’rof: 55)
[549] Maksudnya: melampaui batas tentang yang diminta dan cara meminta.

عَنْ عُمَرَ قاَلَ كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذاَ اَمَدَّ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.

Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga mengusapkan pada wajahnya. (Bulugh al-Maram, hal.347)

عَنِ النُّعْماَنِ بْنِ بَشِيْرٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ.

Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi Saw. Sesungguhnya do’a merupakan ibadah. (Bulughul Maram, hal.347)
Do’a merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Swt. Orang yang enggan berdo’a maka termasuk orang-orang yang sombong. Berdo’a kepada Allah mempunyai kode etik atau tata krama, salah satunya adalah dengan mengangkat kedua tangan lalu mengusapkannya pada wajah ketika selesai seperti yang telah disyari’atkan Nabi.

Do’a Bersama Umat Beragama
Berkumpul melakukan do’a bersama antar umat beragama, seperti yang telah dipelopori oleh Kyai Sholeh Bahruddin, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh dari 6 agama yang berada di Indonesia, baik dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, mereka semua berkumpul di Ponpes Ngalah dan berdo’a bersama. Bagaimanakah pandangan agama?
Dalam hal ini, terjadi beberapa pendapat di kalangan ulama’:
a. Tidak boleh, karena do’anya non muslim tidak diterima serta dilarangnya tawasul dengan mereka. Diambil dari keterangan Kitab Hasyiyah al-Jamal:

لاَيَجُوْزُ اَلتَّأْمِيْنُ عَلىَ الدُّعاَءِ الْكاَفِرِ ِلاَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَماَ دُعَاءُ اْلكاَفِرِيْنَ اِلاَّ فِىْ ضَلاَلٍ (حاشية الجمل ج2 ص 119)

Dan tidak boleh mengamini do’a orang kafir karena do’anya tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt. dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanya sia-sia belaka. (Hasyiyah al-Jamal, Juz II, hal. 119)

Dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Rauyani dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

لاَ يَجُوْزُ اَنْ يُّؤَمِّنَ عَلَى دُعَائِهِمْ كَمَا قَالَهُ اَلرُّوْياَنِىْ لِأَنَّ دُعاَءَ الْكاَفِرِ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ (مغني المحتاج باب صلاة الاستسقاء , ج 1 ص 438)

Tidak boleh mengamini do’a mereka (orang kafir) sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam al-Rauyani, karena do’a mereka tidak akan diterima. (Mughni al-Muhtaj, bab Shalat Istisqo’ juz I, hal.438)

وَيُكْرَهُ إِخْرَاجُ اْلكُفَّارِ ِللْإِسْتِسْقاَءِ لِأَنَهُمْ اَعْداَءُ اللهِ فَلاَ يَجُوْزُ اَنْ يَتَوَسَّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ فَإِنْ حَضَرُوْا وَتَمَيَّزُوْا لَمْ يُمْنَعُوْا ِلأَنَّهُمْ جَاءُوْا فِيْ طَلَبِ الرِّزْقِ. (المجموع ج 5 ص 69)

Dimakruhkan keluarnya orang-orang kafir untuk ikut shalat istisqo’ (meminta hujan) mengingat mereka adalah musuh-musuh Allah, maka tidak diperkenankan untuk bertawassul dengan mereka. Jika mereka ikut hadir dan keberadaan mereka berbeda dengan umat Islam, maka mereka tidak perlu dilarang karena mereka datang untuk mencari rizqi. (al-Majmu’, juz V, hal.69)

b. Makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam musholla/masjid apalagi berbaurnya tersebut dilandasi hanya sekedar berkumpul tanpa ada tujuan yang positif.

( وَلاَ يَخْتَلِطُوْنَ ) أَهْلُ الذِّمَّةِ وَلاَ غَيْرُهُمْ مِنْ سَائِرِ الْكُفَّارِ ( بِناَ ) فِيْ مُصَلاَّناَ وَلاَ عِنْدَ الْخُرُوْجِ أَيْ يُكْرَهُ ذلِكَ بَلْ يَتَمَيَّزُوْنَ عَناَّ فِيْ مَكاَنٍ لِأَنَّهُمْ أَعْدَاءُ اللهِ تَعَالَى إِِذْ قَدْ يَحُلُّ بِهِمْ عَذَابٌ بِكُفْرِهِمْ فَيُصِيْبَناَ (مغنى المحتاج. ج 1 ص 323)

Orang kafir, baik dzimmi maupun orang kafir selain dzimi, itu tidak diperbolehkan menjadi satu majlis peribadatan kita, demikian halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus berbeda dengan kita umat islam ketika berada dalam suatu tempat. Hal ini karena mereka musuh-musuh Allah Swt. yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu adzab dengan kekufuran mereka itu dan adzab tersebut akan mengenai kita pula. (Mughni al-Muhtaj, juz I, hal.323)

قَوْلُهُ : ( تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ. (البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)

Haram mencintai orang kafir yakni adanya rasa suka dan kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir saja maka hukumnya makruh. (Al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

c. Boleh, mengamini atau memimpin do’a bersama non muslim bahkan sunnah jika caranya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan isi do’anya memohon hidayah, pertolongan dan menjalin hubungan baik di dunia serta bermanfaat demi kemaslahatan umat atau untuk mencegah timbulnya sesuatu madharat yang tidak diinginkan.

وَالْوَجْهُ جَوَازُ التَّأْمِيْنِ بَلْ نَدْبُهُ إذَا دَعَا لِنَفْسِهِ بِالْهِدَايَةِ وَلَنَا بِالنَّصْرِ مَثَلًا. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج باب صلاة الاستسقاء الزء 3 ص 553) .

Menurut salah satu pendapat: Boleh mengamini do’a orang kafir, bahkan sunnah jika ia berdo’a agar dirinya mendapatkan hidayah dan kita mendapatkan pertolongan. (Tuhfah Al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj bab shalat istisqo’ juz 3 hal. 553)

Keterangan yang sama terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Jamal, juz II, hal.119)

وَثاَنِيْهَا (اَلْمُخَالِطَةُ) اَلْمُبَاشَرَةُ بِالْجَمِيْلِ فِى الدُّنْياَ بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ (تفسير المنير ج 1 ص 94)

Yang kedua, tidak dilarang untuk bergaul (dengan orang-orang kafir) dengan pergaulan yang baik di dunia. (Tafsir Munir Lin Nawawi, juz I, hal.94)

أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر .(البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)

Adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya madlarat yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram. (Al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

Berdo’a dengan Tawassul
Tawassul artinya perantaraan. Kalau kita tidak sanggup menghadap langsung, kita perlu seorang perantara. Seperti contoh: kalau kita ingin menyampaikan aspirasi kita kepada presiden akan tetapi kita tidak bisa langsung bertemu dengan presiden maka kita menyampaikan aspirasi lewat menteri, apabila kita tidak bisa langsung lewat menteri kita menyampaikan aspirasi kita lewat sesneg atau lewat ajudan. Begitu juga kalau kita ingin menyampaikan suatu keinginan kepada Allah, apabila kita tidak bisa langsung ke Allah, maka kita mohon dengan perantaraan kekasih-Nya, para nabi, para syuhada’ dan orang-orang shaleh.
Sebagian orang mengatakan bahwa berdo’a dengan tawassul adalah syirik, serupa menyembah atau meminta kepada selain Allah, seperti yang telah dilakukan oleh banyak golongan yang meng-klaim, mengkafirkan umat Islam yang bertawassul ketika berdo’a. Sebenarnya bagaimanakah hukum tawassul ketika berdo’a, apakah ada dalil atau dasarnya?

Tawassul kepada Nabi, para sahabat dan orang-orang shaleh adalah merupakan salah satu cara atau perantara ketika berdo’a agar cepat diijabahi atau dikabulkan oleh Allah Swt.
Hukum tawasul adalah boleh bahkan di sunnahkan, karena para sahabat Nabi juga melakukan doa dengan tawassul, sebagaimana keterangan di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah: 35)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ جَآؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا (64)

Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Nisa’: 64)

Para sahabat Nabi juga melakukan tawassul ketika berdo’a, berikut ini dalil-dalil yang menerangkannya:

قاَلَ اِبْنُ تَيْمِيَّةِ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلاَفَرْقَ بَيْنَ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ كَماَ زَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَدْ صَحَّ عَنْ بَعْضِ الصَّحاَبَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَعْضُ الْمُحْتاَجِيْنَ أَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَسَّلَ بِهِ فَقُضِيَتْ حاَجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانِىُّ .

Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirat al-Mustaqim: Tak ada perbedaan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati, seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadits sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat di masa khalifah Utsman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Nabi, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabrany. (Al-Kawakib al-Durriyah juz 2 halaman 6)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ رواه البخارى .

Dari sahabat anas, ia mengatakan: pada zaman Umar bin Khaththab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan shalat istisqa’ Umar bertawassul kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib: Ya Tuhan, dulu kami, mohon kepada-Mu dengan wasilah Nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka (HR. al-Bukhari).
Hadits ini diterangkan di berbagai kitab hadits antara lain yaitu:

1. Shahih al-Bukhary, bab sual an-Naas al-Imam Juz I, hal.128.
2. Musnad al-Shakhabah fii al-Kitab al-Tis’ah, bab musnad Umar bin Khaththab.
3. Jumhurah al-Ajzaa’ juz 1 hal 78.
4. Kanzu al-Amal Fii Sunani al-Aqwaal.
5. Musnad Abi ‘Uwanah, bab Ziyadaats Fii al-Istisqo’
6. Al-Akhad Wa al-Matsany, bab Dzikru Ahli Badrin Wa Fadhailihim Wa ‘Adadihim juz 1 hal.296.


Orang yang melakukan tawassul kepada orang yang shalih atau dengan seorang rasul itu bukan berarti menyembahnya akan tetapi untuk meminta bantuan (sebagai perantara) kepada Allah melalui kekasih-Nya. Dengan demikian tawassul dalam berdo’a membantu cepat terkabulnya do’a dan tidak bertentangan dengan syara’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bila ingin berkomentar.

www.lazada.com